Peduli Pendidikan, Alfata Learning Center Gelar Series NGOPI; Ngobrol Pendidikan
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID – Alfata Learning Center (ALC) menggelar kegiatan Ngobrol Pendidikan (NGOPI) series 1 di Kupi Kayee Batoh, Kota Banda Aceh, Jumat (6/10/2023).
Kegiatan yang mengangkat tema “Konsolidasi Perubahan Pendidikan di Provinsi Aceh” itu diikuti oleh guru, akademisi, mahasiswa, penggiat pendidikan, dan LSM/ORMAS.
Ketua Alfata Learning Center (ALC), Intan Rizky, S.Pd mengatakan kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka pengabdian ALC untuk mewujudkan pendidikan Aceh yang lebih baik.
“sebagai lembaga non-profit, ALC mendedikasikan diri dalam pendidikan Aceh. Sejak tahun 2017 kita telah melaksanakan berbagai training kependidikan bagi guru di Kota Banda Aceh dan Aceh secara free. Kali ini, ALC menghadirkan series NGOPI; Ngobrol Pendidikan yang akan diselenggarakan secara kontinu setiap bulannya, insyaallah.”
Adapun diskusi yang berjalan cukup alot ini dipandu oleh Idham, M.Ag., Pengamat pendidikan Aceh dengan menghadirkan narasumber seperti Nadia Fajria Alfata, S.Pd., M.Ed., Ketua Yayasan Alfata Aceh Indonesia, Regina Fadilla, S.Psi., Daiyyah Dinas Syariat Islam, Tgk. Zulfahmi, MA, Pimpinan Dayah Darul Ulum Banda Aceh, Dr. Fakhrul Rijal, MA., Akademisi STISNU Aceh, dan Nazar Shah Alam, Tokoh Seni dan Budaya.
Menurut Akademisi STISNU Aceh, Dr. Fakhrul Rijal, MA, sistem pendidikan nasional Indonesia belum menemui jati dirinya, pemerintah lebih senang gonta-ganti kurikulum, namun luput pada esensi pendidikan itu sendiri.
“Kurikulum pendidikan kita telah dilakukan pergantian sebanyak dua belas kali. Namun, tujuan dasar dari pendidikan itu sendiri masih belum tercapai. Sebenarnya, kebijakan pemerintah dalam penggantian kurikulum ini terkesan adanya politik pendidikan dalam pengelolaan 2,7 % anggaran pendidikan dari APBN.” Papar Dr. Fakhrul.
Di samping itu, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tgk. Zulfahmi, MA, menyampaikan bahwa pemerintah belum seutuhnya concern pada pengembangan pendidikan, khususnya terkait karakter dan moral, ditambah lagi gempuran teknologi yang semakin canggih dan tak terbendung.
“Semenjak Indonesia merdeka kita belum ada pemimpin yang benar-benar fokus dan serius dalam memperhatikan pendidikan. Jangankan mau menjadi rujukan dunia, menjadi pedoman untuk bangsa sendiri pun masih jauh. Ditambah lagi gempuran perkembangan teknologi saat ini, senang tidak senang kita harus beradaptasi dan bijak dalam menghadapinya. Pun ada kemashlahatan dari teknologi ini, juga tidak sedikit kerusakan yang mampu diberikan dalam penggunaaan teknologi ini. Makanya, di pesantren/dayah kita masih kukuh untuk tidak mengizinkan para santri menggunakan gadget selama belajar di pesantren.” Ungkap Tgk. Zulfahmi.
Kemudian, Ketua Yayasan Alfata Aceh Indonesia, Nadia Fajria Alfata, S.Pd, M.Ed, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa kurikulum pendidikan Indonesia saat ini lebih condong pada kurikulum Prusia, yaitu kurikulum pendidikan yang hanya menjadikan siswa sebagai objek, bukan subjek pendidikan itu sendiri.
“Pendidikan Ala Rasulullah adalah khittahnya pendidikan, yang tidak saja bagi islam tapi bagi seluruh agama. Kurikulum yang relevan sepanjang masa tanpa perlu dilakukan penggantian setiap saat. Kalau mau jujur, sebenarnya Indonesia sudah menjauhkan dari dari konsep pendidikan Rasulullah yang nyatanya saat ini telah dijadikan sumber rujukan dan sumber inspirasi pendidikan dunia barat. Bahkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara juga terilhami dari sana.” Demikian papar miss Nadia.
Lebih lanjut, Daiyyah Dinas Syariat Islam, Regina Fadilla, S.Psi, mengatakan bahwa ada pergeseran tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dewasa ini. Pendidikan yang seharusnya berfokus pada values (nilai-nilai), namun sudah beralih pada score (angka).
“Dunia pendidikan kita kehilangan arahnya. Kita lebih mementingkan pada pencapaian score (angka) di raport anak daripada perkembangan values (akhlak). Maka tidak heran, kurikulum terus berganti, anggaran pendidikan meningkat, tapi pencapaian tujuan pendidikan justru bobrok. Ironisnya, moral anak-anak kita saat ini mengalami degradasi.” Demikian kata Regina.
Terakhir, Nazar Shah Alam, tokoh seni dan budaya, menyampaikan bahwa selayaknya pendidikan lebih dinamis dalam penyelenggaraan, namun tetap pada koridor nilai-nilai etika dan moral.
“Saya termasuk orang yang dikecewakan dalam dunia pendidikan. Dulunya sebelum beralih fokus seutuhnya sebagai seniman, saya juga seorang guru bahasa dan sastra Indonesia. Dengan metode dan pendekatan pengajaran yang saya terapkan, justru itu menjadi boomerang dalam karier saya sebagai guru, karena adanya ketidaksenangan dari oknum guru lainnya di sekolah. Padahal metode yang saya contohkan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan. Tapi ya begitulah, kita lebih senang pada tampilan kulit daripada isinya.“ kata Nazar.