Mengapa Kita Perlu Berhenti Menyebut Trauma Healing dalam Penanganan Bencana
Foto : Foto Bersama Direktur Pendayagunaan SDMK Kemenkes RI dr. Ika Trisia,MKM | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Setiap kali bencana terjadi, istilah trauma healing hampir selalu muncul di ruang publik. Istilah ini terdengar baik, empatik, dan seolah menjadi jawaban atas penderitaan psikologis para penyintas. Namun, di balik kepopulerannya, istilah tersebut menyimpan persoalan mendasar. Dalam perspektif kesehatan jiwa dan penanganan bencana, istilah yang lebih tepat dan bertanggung jawab adalah “dukungan psikososial”.
Trauma bukanlah sesuatu yang dapat “disembuhkan” secara instan. Pengalaman bencana memunculkan respons psikologis yang sangat beragam. Rasa takut, sedih, cemas, marah, bingung, hingga mati rasa adalah reaksi yang wajar terhadap situasi yang tidak normal. Tidak semua orang yang terdampak bencana mengalami trauma berat atau gangguan jiwa yang memerlukan terapi klinis.
Sayangnya, penggunaan istilah trauma healing secara masif justru berpotensi memberi label bahwa setiap penyintas pasti mengalami trauma dan harus “disembuhkan”. Pelabelan semacam ini dapat menciptakan stigma, menekan penyintas, dan mengabaikan fakta bahwa banyak dari mereka sebenarnya memiliki ketahanan dan mekanisme koping yang baik.
Di sinilah pentingnya pendekatan dukungan psikososial. Pendekatan ini tidak memposisikan penyintas sebagai pasien, melainkan sebagai individu dan komunitas yang sedang beradaptasi dengan situasi krisis. Dukungan psikososial bertujuan membantu penyintas merasa aman, didengar, dan didukung, agar mereka dapat kembali menjalani fungsi kehidupan sehari-hari secara bertahap.
Dalam praktik di lapangan, dukungan psikososial tidak selalu berupa sesi konseling atau terapi. Kehadiran relawan yang mau mendengar tanpa menghakimi, ruang aman bagi anak-anak untuk bermain, aktivitas sosial sederhana di pengungsian, hingga penguatan jejaring keluarga dan komunitas sering kali jauh lebih bermakna. Pendekatan ini juga memberi ruang untuk mengidentifikasi secara dini siapa saja yang benar-benar membutuhkan rujukan ke tenaga profesional kesehatan jiwa.
Penggunaan istilah yang tepat bukan sekadar soal bahasa. Ia mencerminkan cara pandang, sikap, dan etika kita dalam memperlakukan penyintas bencana. Ketika kita memilih istilah dukungan psikososial, kita sedang menegaskan bahwa pemulihan adalah proses manusiawi yang tidak bisa dipaksakan, apalagi diseragamkan.
Sudah saatnya para pemangku kepentingan, relawan, media, dan masyarakat luas mulai menggunakan istilah dan pendekatan yang benar. Bencana memang meninggalkan luka, tetapi juga memperlihatkan kekuatan manusia untuk bertahan dan bangkit. Tugas kita bukan “menyembuhkan trauma”, melainkan hadir, mendampingi, dan menguatkan.
Penulis: Fakhrurrazi,S.ST.,M.Si
Ketua DPD Persatuan Perawat (PPNI) Kab. Pidie Jaya






