18 Oktober 2025
Daerah

Duel Dua Pendekar Muda Pidie Jaya di Media: Kawan Jadi Lawan, Pantun Jadi Peluru!

Foto : Mahli & Tgk Juli Andika | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Dulu mereka duduk satu meja, kini mereka berbalas kata di ruang maya. Tgk. Juli Andika salah seorang pimpinan dayah dan Mahlil Sekretari PAN Pidie Jaya, dua politisi muda yang pernah berjuang dalam satu barisan, kini saling berhadapan dalam panggung opini publik. Keduanya bukan figur sembarangan, satu ulama muda, mantan Sekjen Partai PAS Aceh Pidie Jaya, partai yang dikomandoi langsung oleh sang Bupati; satu lagi politisi Partai Amanat Nasional (PAN) mantan anggota DPRK Pidie Jaya yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Tim Pemenangan SABAR. Dan seperti dua pendekar kata, mereka kini saling menebas dengan kalimat, bukan dengan pedang.

Bagi Tgk. Juli Andika, perjalanan ini seperti putaran waktu yang getir. Ia ikut menabuh genderang kemenangan, menjadi penyemangat perubahan, dan membangun keyakinan rakyat bahwa “SABAR” adalah jawaban untuk masa depan Pidie Jaya. Tapi setelah euforia usai dan kursi kekuasaan berpindah tangan, idealisme yang dulu ia jaga mulai terasa sempit. Diam-diam, ia mengundurkan diri sebagai Sekjen PAS sebuah langkah yang awalnya sunyi, tapi kemudian bergema keras di dunia maya.

Dalam video TikTok yang kini viral, Tgk. Juli Andika menohok langsung slogan kebanggaan Bupati: “Meusyuhu.” Katanya, “Meusyuhu bukannya tambah maju, malah Meusyuhu mundur.” Satu kalimat, tapi maknanya dalam. Ia bicara soal janji yang tak ditepati, kota yang makin sepi, dan rakyat yang masih menunggu perubahan. Suaranya tidak tinggi, tapi nadanya jelas: ada sesuatu yang salah di rumah kekuasaan yang dulu ia bantu bangun.

Dan di seberang layar, Mahlil berdiri tegak sebagai benteng pertahanan. Politisi muda PAN itu menepis kritik dengan tegas dan penuh data. “Jika menyerang tanpa fakta, itu bukan kritik, tapi fitnah,” katanya kepada liputagampongnews.id. Ia menyebut kritik Juli sebagai tudingan liar yang tak memahami konteks pemerintahan. Baginya, tudingan itu bukan bentuk kepedulian, melainkan keluhan dari orang yang kecewa. Ucapannya dingin, tapi bergetar: ada luka  yang disembunyikan di balik klarifikasi resmi.

Duel kata ini berubah jadi tontonan politik paling ramai di Pidie Jaya. Satu menyerang dengan pantun atas nama konstituen, satu membalas ala juru bicara kekuasaan. Satu bicara dengan nada hati, dan satunya lagi dengan gaya birokrasi. Kini publik terbelah, antara yang rindu suara kejujuran dan yang takut kehilangan stabilitas. Tapi satu hal yang sama-sama disadari: retak di dalam rumah kekuasaan kini tak bisa lagi disembunyikan di balik spanduk persatuan.

“Ini bukan sekadar gesekan, ini soal trust yang bocor,” ujar salah seorang pengamat politik warung kopi di Pidie Jaya. “Mahlil dan Juli sama-sama idealis, sama-sama merasa berjasa. Tapi politik punya cara unik membuat pejuang saling mencurigai. Dalam kekuasaan, yang dulu berdampingan bisa dengan cepat saling berseberangan.” Menurutnya, fenomena ini adalah sinyal bagi Bupati Sibral Malasyi, bahwa barisan terdekatnya kini bukan lagi benteng, tapi cermin yang retak.

Tgk. Juli Andika mungkin tidak sedang mencari panggung, ia hanya ingin didengar. Tapi ketika suara jujur muncul dari orang dalam, biasanya yang pertama diserang justru integritasnya. Di sinilah politik menjadi paradoks: yang dulu membela kini dituduh menyerang, yang dulu mendukung kini dianggap berkhianat. Padahal, loyalitas sejati bukan soal tunduk, tapi soal berani mengingatkan ketika arah mulai melenceng.

Sementara itu, Mahlil tetap pada posisinya: membela pimpinan dengan argumen yang tertata. Ia bicara tentang keberhasilan MTQ Aceh 2025, perbaikan jalan, dan penataan kota. Namun di balik angka dan data, publik merindukan sesuatu yang lebih manusiawi, pengakuan bahwa kritik bukan musuh, tapi cermin. Dan mungkin di situlah letak ujian sebenarnya bagi generasi muda di pemerintahan: apakah mereka berani membuka telinga seluas mereka membuka spanduk kemenangan?

Kini, duel dua anak muda ini sudah lebih dari sekadar balas pantun, ini pertarungan narasi antara nurani dan kekuasaan. Tgk. Juli membawa suara moral, Mahlil membawa kekuatan struktur. Satu berbicara dari luar pagar, satu dari dalam istana. Dan rakyat, seperti biasa, menonton dari tepi, bertanya pelan: siapa yang sebenarnya lebih SABAR?

Lalu muncul pertanyaan yang layak direnungkan, Pawang Beurandeh: “Apa kabar, loyalitas? Masihkah ia hidup setelah pilkada usai?”

Karena pada akhirnya, yang paling berbahaya bagi kekuasaan bukanlah lawan dari luar, tapi kawan yang berhenti percaya dari dalam. Dan di Pidie Jaya hari ini, pantun sudah berubah jadi peluru, ditembakkan bukan untuk menjatuhkan, tapi mungkin, untuk mengingatkan. (TS)