Dari Sekolah, Roberto Baggio dan Empat Pulau
Oleh: Edi Miswar Mustafa
OPINI - Menarik sekali membaca esai “Nak, Sekolah Bukan untuk Kita” di media ini. Esai itu ditulis sahabat saya, Taufik, Kepala SMPN 3 Ulim, Pidie Jaya. Betapa banyak orang tua euforia di musim pembagian rapor anak dengan nilai mentereng. Padahal banyak sekolah yang mengatrol nilai para siswa. Salah satu tujuannya adalah undangan dari kampus.
Sementara, tujuan utama sekolah, sebagaimana petuah Ki Hajar Dewantara yaitu agar si anak mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, malah melenceng jauh. Mungkin melenceng seperti tendangan penalti Roberto Baggio yang legendaris itu.
Sebenarnya, Baggio kenapa sih? Eh, sekolah buat apa sih? Sekian tahun sekolah, akhirnya jadi pengangguran. Sekian lama kuliah, ijazahnya disimpan di rumah, lalu menunggu dengan setia dibukanya tes CPNS. Sang pacar yang sudah sepakat buat komitmen sejak semester dua, malah kirim ultimatum via WA; kata Abu, kalau tidak dilamar tahun ini, saya harus terima lamaran orang lain.
Di sisi lain, banyak yang sudah kerja. Di kantoran pemerintah, di sekolah pemerintah, dan sebagainya. Tapi kalau bersua kawan yang tak seberuntung dia, malah buang muka. Seolah yang berpapasan tadi di jalan itu bukan temannya. Padahal, dulu, sejak SMP sampai SMA, mulai dari surat cinta, mancing kepiting di Paya Wajonah, tanam bayam dan kangkung plus bawang bekas rel kereta api zaman Belanda, keduanya seia-sekata. Dunia seakan tercipta demikian indahnya.
Inilah contoh kegagalan pendidikan kita. Cerdas di atas kertas, tapi asosial. Cumlaude pas kuliah, pas giliran berhadapan dengan kerjasama tim, ia selalu menjadi masalah. Ketika menjadi guru pun, tiap semester selalu bermasalah dengan siswanya. Ia menjadi beban psikologis untuk warga sekolah atau kolega sekantornya.
Pendidikan tidak menciptakan orang jahat, orang sombong, orang culas, maling uang negara, dan lainnya. Karena tujuan utama dari pendidikan adalah karakter. Bahasa kita orang Islam, akhlak. Tapi ya gimana, pas pensiun, ia tak punya kawan. Di warung kopi, ia tidak disapa seperti dulu oleh orang-orang yang dikenalnya. Ia pun malas ke meunasah. Ia malas ke warung kopi. Kalau pun mau duduk berleha di warung kopi, dicarinya warung kopi yang sepi. Yang pelanggannya hanya satu dua orang saja. Orang itu pun tak dikenalnya.
Anies Baswedan, mantan Rektor Paramadina dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah menjelaskan bahwa karakter ada dua. Karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral seperti sabar, ikhlas, jujur dan lainnya. Karakter moral akan diiketahui setelah kita bergaul agak lama dengan seseorang. Beda dengan karakter kinerja seperti disiplin, rajin, bertanggung jawab dan lainnya. Karakter kinerja dapat dilihat secara langsung dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui bahwa seseorang memiliki karakter itu.
Ironisnya, di tempat kita, pertanda anak berakhlak, yang bertemu gurunya, orang yang lebih tua darinya langsung cium tangan. Yang di sekolahnya rajin shalat dhuha sesuai arahan gurunya. Tapi pas tamat sekolah, jumpa gurunya di jalan, di rumah sakit, di pasar, seolah gurunya itu orang yang sama sekali tak dikenalnya. Apalagi jika si mantan siswa itu sudah menjadi dokter, polisi, atau baru lewat PPPK di salah satu dinas di kabupaten anu di provinsi anu.
Apa guna ia dulu mendapat rangking satu di sekolahnya? Apa guna ia takzim cium tangan guru, teungku, orang-orang yang lebih tua darinya dulu semasa sekolah? Apa guna ia belajar pelajaran agama, tauhid, aqidah, fiqh, dan lainnya ketika masih berbaju seragam.
Nah, bagaimana mengubah fenomena pendidikan kita yang tidak selaras dengan tujuan rekayasa sosial; adanya pendidikan untuk kehidupan dan peradaban yang lebih asri?
Guru adalah kunci?
Setelah Jepang porak-poranda pada Perang Dunia ke-2, Kaisar Jepang bertanya, berapa orang guru yang tersisa? Dari kisah ini dapat ditarik simpulan bahwa profesi terpenting membangun sebuah peradaban adalah guru. Begitu juga dengan miskonsepsi karakter di tengah-tengah masyarakat kita. Guru harus menjadi role model; di depan sebagai teladan, di tengah sebagai penyemangat, di belakang sebagai pendorong.
Uniknya, dari tahun ke tahun, guru disibukkan oleh sekian agenda administratif. Ia seakan harus menanggung beban negara seorang diri. Ibarat penggembala yang menghalau domba dari kandang ke padang rumput dan sebaliknya. Ia kepanasan di tengah siang yang terik. Ia kedinginan di saat hujan datang tanpa permisi.
Di sisi lain, banyak guru terjebak pada sasaran tujuan akademik semata. Ia mengejar batas pelajaran pada tiap kompetensi dasar. Lalu memberi nilai. Lalu mengujiankan. Lantas nilai para siswa tertera dengan manis di atas kertas. Dengan angka-angka yang fantastis. Kalau tidak, si guru akan jadi bulan-bulanan di sekolahnya. Atau, dianggap tidak punya kompetensi.
Pola ini harus diubah. Guru harus bekerjasama dengan orang tua. Tiap guru mesti membuat rubrik penilaian karakter untuk membentuk disiplin, tekun, tanggung jawab, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Tentu guru dan sekolah tidak bisa melakukannya tanpa dukungan orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Dan di rumah, tanpa kerjasama yang baik antara ibu dan ayah, jangan harap karakter yang kita harapkan itu akan hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Ironisnya, budaya patriaki, budaya yang mengistimewakan laki-laki, menjadi penghalang serius pola asuh yang sepadan antara ayah dan ibu. Sebagai guru, jarang saya menemukan seorang ayah yang mampu menjadi contoh untuk anak laki-lakinya. Sementara kebanyakan ibu, sukses memproyeksi anak perempuannya menjadi calon ibu yang baik, yang bisa menyapu, setrika, cuci piring, dan memasak. Karena pembiasaan dan beban tanggung jawab di rumah itulah, di sekolah-sekolah anak perempuan lebih tertib tinimbang anak laki-laki.
Sampai-sampai kemudian menjadi fenomena. Dan itu sangat menyesakkan. Karena jarang anak laki-laki yang macho mendapat rangking satu atau masuk dalam tiga besar. Kalau pun ada, itu pun anak laki-laki dalam tiga besar, yang agak kemayu. Yang gemulai dari tatapan sampai gemulai di gaya berjalan. Terus jarang bergaul dengan sesama anak lelaki. Alhasil, secara kronologis, lebih banyak perempuan yang kuliah. Lebih banyak yang menjadi guru dan pegawai pemerintahan.
Anda dapat mengecek sendiri, berapa guru laki-laki di SD, SMP, dan SMA. Anda dapat mengecek sendiri, berapa persentase laki-laki dan perempuan di kantor bupati, misalnya. Kemudian dari persentase itu, manakah persentase terbesar yang mampu bekerja dan tidak tidak. Dan yang sebagiannya dengan penuh lagak bergaya di hampir semua warung kopi.
Tentu saja ini fenomena pendidikan kita yang tak dapat ditolak kebenarannya. Kebenaran itu sama dengan kata-kata di baju kaos tetangga saya yang bunyinya, ‘merdeka dari penjajah, belum merdeka dari penjarah’. Eh, jangan ingat lagi empat pulau itu. Sudah dikembalikan lagi. Sudah, ya. Oya, tendangan penalti Roberto Baggio yang ikonik itu masih membekas di benak fansnya. Andai gol, tentu Brazil tak juara Piala Dunia 1994. Nyesak…
Edi Miswar Mustafa: Guru SMAN 1 Meureudu, Koordinator FAMe Pidie Jaya dan Penggiat Komunitas Muda Japakeh.