Belanja Modal 15 Persen: APBK Pidie Jaya Cuma Jadi Pajangan?
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Kabupaten Pidie Jaya yang dirilis oleh Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Kementerian Keuangan per 3 Juni 2025, terlihat bahwa kinerja fiskal daerah ini belum menunjukkan performa yang memuaskan. Dari total pagu pendapatan sebesar Rp961,02 miliar, realisasi hingga awal Juni baru mencapai Rp677,80 miliar atau setara 70,54 persen. Secara angka memang terlihat signifikan, namun bila ditelaah lebih jauh, keberhasilan ini lebih banyak ditopang oleh dana transfer dari pusat, bukan dari kemandirian fiskal daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Komponen PAD yang idealnya mencerminkan kekuatan ekonomi lokal, justru masih berkinerja lemah. Dari target Rp136,74 miliar, baru terealisasi Rp82,68 miliar atau sekitar 60,46 persen. Rinciannya memperlihatkan bahwa Pajak Daerah baru terkumpul Rp4,58 miliar dari target Rp9,84 miliar, sementara Retribusi Daerah bahkan lebih kecil, hanya Rp1,56 miliar dari target Rp4,95 miliar. Yang lebih memprihatinkan adalah realisasi Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan yang baru mencapai Rp0,52 miliar atau 20,37 persen dari target. Ini menjadi indikator bahwa potensi ekonomi lokal belum tergarap secara sistematis, dan pengelolaan aset daerah belum dikelola secara produktif.
Sebaliknya, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) menjadi penyumbang terbesar pendapatan, dengan realisasi Rp575,47 miliar dari pagu Rp789,18 miliar atau 72,92 persen. Hal ini menandakan bahwa ketergantungan Kabupaten Pidie Jaya terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi. Dalam jangka pendek, ini mungkin terlihat aman, namun secara struktural menunjukkan kerentanan fiskal. Ketika terjadi penyesuaian APBN atau tekanan makro ekonomi nasional, daerah-daerah seperti Pidie Jaya akan terdampak paling awal karena minimnya diversifikasi sumber pendapatan.
Di sisi belanja, Kabupaten Pidie Jaya juga menghadapi tantangan. Dari total belanja daerah sebesar Rp974,92 miliar, realisasi baru mencapai Rp473,12 miliar atau 48,53 persen. Ini menandakan adanya kelambatan dalam penyerapan anggaran. Belanja pegawai mendominasi komposisi dengan realisasi Rp244,75 miliar atau 70,03 persen dari pagu Rp349,50 miliar. Dominasi belanja rutin ini menunjukkan bahwa ruang fiskal lebih banyak dihabiskan untuk kebutuhan operasional birokrasi ketimbang investasi produktif. Hal ini mengindikasikan belum adanya reformasi mendalam dalam struktur pengeluaran daerah.
Yang paling mencolok dari sisi belanja adalah rendahnya realisasi belanja modal, yang hanya mencapai Rp17,45 miliar dari target Rp112,02 miliar atau 15,57 persen. Padahal, belanja modal merupakan indikator utama dari upaya pembangunan fisik dan penguatan aset daerah. Rendahnya realisasi ini bisa disebabkan oleh lemahnya perencanaan teknis, proses tender yang lambat, atau bahkan belum dimulainya sejumlah proyek infrastruktur prioritas. Jika tren ini berlanjut, maka efek pengganda ekonomi yang diharapkan dari APBK akan sulit tercapai, dan perputaran ekonomi lokal pun stagnan.
Sementara itu, belanja lainnya seperti bantuan keuangan ke pihak ketiga maupun bantuan sosial menunjukkan capaian yang bervariasi. Belanja bantuan keuangan mencapai Rp120,48 miliar atau 59,25 persen dari pagu Rp203,35 miliar, menunjukkan adanya aliran dana yang relatif lancar ke desa atau instansi penerima hibah. Namun, belanja tidak terduga baru terealisasi Rp0,13 miliar atau hanya 10,66 persen dari pagu Rp1,25 miliar. Ini menunjukkan lemahnya respon fiskal terhadap keadaan darurat atau kebutuhan mendesak yang tidak terencana.
Yang juga patut disorot adalah nihilnya realisasi pada sisi pembiayaan daerah. Pagu penerimaan pembiayaan sebesar Rp15 miliar dan pengeluaran pembiayaan Rp1,10 miliar belum digunakan sama sekali. Padahal, pos ini biasanya digunakan untuk penguatan struktur APBD melalui pemanfaatan SILPA atau penyertaan modal ke BUMD. Kosongnya aktivitas pembiayaan ini mencerminkan bahwa strategi fiskal alternatif belum dijalankan. Akibatnya, potensi untuk memperluas sumber daya keuangan daerah melalui instrumen pembiayaan masih belum tergarap secara optimal.
Secara keseluruhan, realisasi APBK Pidie Jaya hingga Juni 2025 menunjukkan gambaran fiskal yang stagnan, belum mencerminkan arah pembangunan ekonomi yang progresif. Dengan struktur pendapatan yang timpang dan belanja yang tidak produktif, kinerja anggaran daerah ini berpotensi tidak maksimal jika tidak dilakukan evaluasi menyeluruh pada paruh kedua tahun anggaran. Pemerintah daerah perlu segera mengoptimalkan PAD, mempercepat realisasi belanja modal, dan mulai menggunakan instrumen pembiayaan daerah untuk menciptakan daya dorong ekonomi yang lebih nyata. (TS)