Ilmu Seharusnya Membuatmu Rendah Hati, Bukan Merasa Paling Benar
Oleh: Tgk. Syahrul Mizan,S.Ag - Pimpinan Dayah Darul Maghfirah Paya Cut, Matang Glp.Dua, Bireuen
OPINI - Di tengah era digital yang penuh debat, perbandingan, dan adu argumentasi, sering kita temui fenomena: orang yang merasa paling tahu justru paling mudah menyalahkan. Padahal, seperti pesan bijak yang ramai dibagikan:
“Kalau pintar bikin kamu merasa paling benar, berarti ada yang salah dari caramu belajar.”
Ucapan ini bukan sekadar kritik sosial, tapi juga bahan perenungan mendalam baik dari sudut pandang agama maupun filsafat modern. Karena sejatinya, ilmu bukan panggung untuk meninggikan diri, tapi jendela untuk menyadari betapa kecilnya kita di hadapan kebenaran yang luas.
Ilmu dalam Islam Membentuk Akhlak, Bukan Kesombongan
Dalam Islam, ilmu tidak pernah dipisahkan dari adab dan kerendahan hati (tawāḍuʿ).
Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(QS Al-Isra: 85)
Artinya, sebanyak apapun seseorang belajar, tetap ada batas yang tak mampu dijangkau oleh akal manusia. Itulah mengapa ulama besar seperti Imam Syafi’i berkata,
“Semakin aku belajar, semakin aku sadar bahwa aku tidak tahu.”
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Ilmu sejati bukan membuat kita merasa lebih tinggi, tapi membuat kita lebih bijak dalam menyikapi perbedaan.
Filsafat Modern: Semakin Cerdas, Semakin Sadar Diri
Para filsuf modern juga menyuarakan hal serupa dengan bahasa yang berbeda. René Descartes, misalnya, tidak memulai filsafat dari kepastian, melainkan dari keraguan
“Aku ragu, maka aku berpikir. Aku berpikir, maka aku ada.”
Karl Popper, filsuf ilmu abad 20, bahkan menekankan bahwa semua teori ilmiah harus bisa dibantah dan diuji ulang. Menurutnya, orang yang paling ilmiah adalah mereka yang siap menerima bahwa pemikirannya bisa salah.
Bertrand Russell, seorang peraih Nobel, pernah berkata:
“Masalah utama dalam dunia adalah bahwa orang bodoh sangat yakin pada diri mereka sendiri, sementara orang bijak penuh keraguan.”
Apa artinya? Ilmu yang benar tidak melahirkan arogansi, melainkan kesadaran diri.
Epistemic Humility, Merendah dalam Pencarian Kebenaran
Dalam dunia akademik dan pendidikan, istilah “epistemic humility” atau kerendahan hati dalam berpikir mulai sering digunakan. Intinya adalah
Mengakui bahwa pengetahuan kita selalu terbatas.
Menyadari bahwa bisa jadi orang lain tahu sesuatu yang kita tidak tahu.
Bersedia mengoreksi diri jika ada kebenaran baru yang datang.
Sikap ini sangat penting, apalagi di era sosial media yang penuh noise. Banyak yang merasa paling benar hanya karena bisa merangkai kata atau mengutip satu-dua teori, padahal belum tentu menguasai konteks secara utuh.
Ilmu Bukan untuk Menang, Tapi untuk Menjadi Manusia
Ilmu bukan untuk menunjukkan siapa paling hebat, tapi untuk memperhalus hati, memperkuat karakter, dan membuka jalan kebaikan. Jika ilmu menjadikan kita tinggi hati, maka bisa jadi yang bertambah hanya informasi, bukan kebijaksanaan.
Jadi, mari kita evaluasi kembali cara kita belajar. Apakah ilmu yang kita kejar sudah membawa kita pada kerendahan hati? Ataukah justru membuat kita semakin sulit menerima pendapat orang lain?
Karena pada akhirnya, semakin banyak kita tahu, semakin kita sadar bahwa kita belum tahu apa-apa.