LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Derita warga korban banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, seolah telah berubah menjadi komoditas dagangan. Di tengah situasi darurat pasca banjir besar, harga beras Bulog justru melambung tak wajar. Di kawasan Keude Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru, Senin (1/12), beras Bulog dikabarkan dijual hingga dua kali lipat dari harga standar. Kantong 5 kilogram dibanderol Rp140 ribu, sementara ukuran 10 kilogram tembus Rp280 ribu.
Kondisi ini diungkapkan oleh Muhammad Riza, aktivis mahasiswa Pidie Jaya, yang menilai praktik tersebut sebagai bentuk kejahatan moral di tengah bencana. Menurutnya, rakyat tidak hanya dipaksa bertahan dari terjangan banjir, tetapi juga dihadapkan pada kekejaman pasar yang kehilangan nurani. “Ini bukan sekadar mahal, ini kejam. Derita rakyat dijadikan ladang bisnis,” ujar Riza dengan nada geram.
Riza menjelaskan, beras tersebut dibeli untuk didistribusikan ke lokasi pengungsian menggunakan dana hasil donasi dari masyarakat. Niat sukarela warga untuk meringankan penderitaan korban banjir justru terhambat oleh ulah pedagang yang diduga sengaja memainkan harga. Ia mengaku berada dalam posisi dilematis: tetap membeli demi misi kemanusiaan atau menghentikan distribusi bantuan karena harga yang mencekik.
“Orang-orang punya empati, mereka mengirim uang untuk membantu korban, tapi ada pihak yang tega merampok rasa kemanusiaan itu. Ini memalukan,” kata Riza. Ia menilai pedagang yang menaikkan harga di situasi bencana bukan sekadar pelaku usaha, tetapi telah berubah menjadi predator krisis.
Aktivis mahasiswa itu mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polres Pidie Jaya, untuk segera turun tangan. Ia menuntut penertiban tegas terhadap pedagang nakal yang diduga memanfaatkan situasi darurat demi keuntungan pribadi. “Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Negara tidak boleh kalah oleh keserakahan,” tegasnya.
Lebih jauh, Riza meminta pemerintah daerah dan instansi terkait untuk membuka mata terhadap chaos distribusi logistik. Ia menilai, lemahnya pengawasan dan absennya intervensi cepat telah memberi ruang bagi praktik permainan harga. Menurutnya, bencana seharusnya menjadi momen memperkuat solidaritas, bukan ajang menunjukkan kerakusan.
Ia pun mengajak masyarakat untuk lebih berani melapor jika menemukan praktik serupa di lapangan. “Keheningan kita adalah izin bagi ketidakadilan. Jangan takut bicara, ini tentang hak hidup masyarakat kecil,” pungkas Riza. (**)






